Kiai Sholeh
Darat termasuk Ulama yang tidak terikat dengan aliran-aliran dalam islam. Ia
justru sangat menghargai aliran yang berkembang pada saat itu. Ia lebih menekankan
pada nilai-nilai pokok (substansi) islam dan bukan furu’iyah (cabang). Kiai Sholeh darat memosisikan diri sebagai
pedakwah yang santun, ia berdakwah dengan bahasa yang sangat mudah dipahami dan
dicerna oleh kalangan awam dari semua golongan masyarakat. Tak heran apabila
kemasan dakwahnya bisa diterima masyarakat secara luas, mulai dari kalangan
rakyat kecil hingga keluarga priyayi atau bangsawan.
Salah satu
muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan Kiai adalah Raden Ajeng
Kartini. Menurut catatan cucu Kiai Sholeh Darat, Kiai Al Kholil, Kartini pernah
punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya
sering memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuahayat Al-Qur’an. Tak
heran, Kartini pernah beranggapan bahwa pelajaran agama sebatas ritual belaka
tanpa ada makna yang bisa dipahami.
Kebetulan
pada masa itu Kiai Sholeh Darat memiliki agenda rutinmengisi ceramah keliling
ke beberapa keluarga bangsawan di beberapa kabupaten pantai utara Jawa. Sampai
suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat
itu , sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga.
Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain dari balik
hijab (tabir/tirai). Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir
Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat
memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat dan telinganya menangkap kata
demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini
Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Kartini meras tercerahkan. Betapa Kiai Sholeh Darat mampu menerjemahkan
sekaligus menafsirkan surat Al-Fatihah secara gamblang hingga mudah dipahami
orang awam.
Tak pelak,
selepas pengajian , kartinipun meminta tolong pamannya agar bersedia
menemaninya untuk menemui Kiai Sholeh Darat. Kartini pun berkata, ”Saya merasa
perlu menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Romo Kiai. Saya
bersyukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian Romo Kiai
menerjemahkan surah Al-Fatihah kedalam bahasa Jawa sehingga mudah dipahami dan
dihayati oleh masyarakat awam, seperti Saya. Kiai lain tidak berani berbuat
seperti itu, sebab kata mereka Al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan kedalam
biasa lain atau bahasa Jawa.
Lebih
lanjut Kartini menjelaskan, “Selama ini surah Al-Fatihah gelap bagi Saya. Saya
tidak mengerti sedikitpun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi
terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena Romo Kiai
menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang Saya pahami.” Dari situ R.A Kartini pun
beberapa kali mengikuti pengajian tafsir Kiai Sholeh Darat. Dalam salah satu
pengajian Kiai Sholeh Darat, secara tersiraat R.A. Kartini memohon gurunya itu
agar menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam
bahasa Jawa. Karena bagi Kartni tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak
diketahui artinya. Permintaan tersebut mendapat respun positif, sehingga Kiai
Sholeh Darat pun tergerak menuliskan terjemahan Al-Qur’an. Kartini telah
menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan
Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.
Tetapi pada
waktu itu penjajahan Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan
Al-Qur’an. Mereka tak segan membakar terjemahan Al-Qur’an, baik yang ditulis
dalam akssara latin maupun aksara Jawa. Tak habis akal, Kiai Sholeh Darat
memiliki solusi atas larangan penjajahan. Ia menerjemahkan Al-Qur’an dengan
ditulis dalam huruf arab gundul tetapi berbahasa Jawa (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir danterjemahan
Al-Qur’an ini diberi nama Kitab Tafsir
Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa
dengan aksara Arab. Setelah selesai dicetak, Kiai Sholeh memberikan hadiah
kitab tafsir ini kepada R.A. Kartini dalam acara tasyakuran pernikahannya
dengan R.M. Joyodiningrat, seorang bupati Rembang.
Sejak saat
itu, Kiai Sholeh Darat banyak menulis buku dengan menggunakan tulisan pegon. Ia hanya sesekali menulis dengan
menggunakan bahasa Arab. Ikhtiarnya adalah agar karya-karyanya bisa dipahami
dan dicerna dengan baik oleh masyarakat awam secara luas. Ia adalah pelopor
ulama yang menulis buku agama dengan menggunakan bahasa Jawa. Tak heran apabila
masyarakat awam kala itu sangat terbantu dengan kehadiran buku-buku karya Kiai
Sholeh Darat. Sehingga buku-buku Kiai Sholeh pun menjadi pegangan utama sebagai
bahan ajar di pesantren dan langgar di Jawa kala itu. Kiai Sholeh menjadi ulama
visioner yang memiliki kontribusi luar biasa terhadap tersedianya referensi
keislaman yang mudah dipahami dan dekat dengan masyarakat awam.
Sumber: Buku KH Sholeh Darat; Maha Guru para Ulama Nusantara
No comments:
Post a Comment