Karena setiap pengalaman adalah Pelajaran, bukan sebatas Perjalanan #NUBackpacker

Breaking News

April 21, 2017

Benarkah R.A. Kartini pernah nyantri ke Kiai Sholeh Darat?


Kiai Sholeh Darat termasuk Ulama yang tidak terikat dengan aliran-aliran dalam islam. Ia justru sangat menghargai aliran yang berkembang pada saat itu. Ia lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (substansi) islam dan bukan furu’iyah (cabang). Kiai Sholeh darat memosisikan diri sebagai pedakwah yang santun, ia berdakwah dengan bahasa yang sangat mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan awam dari semua golongan masyarakat. Tak heran apabila kemasan dakwahnya bisa diterima masyarakat secara luas, mulai dari kalangan rakyat kecil hingga keluarga priyayi atau bangsawan.
 Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan Kiai adalah Raden Ajeng Kartini. Menurut catatan cucu Kiai Sholeh Darat, Kiai Al Kholil, Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya sering memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuahayat Al-Qur’an. Tak heran, Kartini pernah beranggapan bahwa pelajaran agama sebatas ritual belaka tanpa ada makna yang bisa dipahami.

Kebetulan pada masa itu Kiai Sholeh Darat memiliki agenda rutinmengisi ceramah keliling ke beberapa keluarga bangsawan di beberapa kabupaten pantai utara Jawa. Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu , sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain dari balik hijab (tabir/tirai). Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Kartini meras tercerahkan. Betapa Kiai Sholeh Darat mampu menerjemahkan sekaligus menafsirkan surat Al-Fatihah secara gamblang hingga mudah dipahami orang awam.


Tak pelak, selepas pengajian , kartinipun meminta tolong pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kiai Sholeh Darat. Kartini pun berkata, ”Saya merasa perlu menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Romo Kiai. Saya bersyukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian Romo Kiai menerjemahkan surah Al-Fatihah kedalam bahasa Jawa sehingga mudah dipahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti Saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka Al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan kedalam biasa lain atau bahasa Jawa.

Lebih lanjut Kartini menjelaskan, “Selama ini surah Al-Fatihah gelap bagi Saya. Saya tidak mengerti sedikitpun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang Saya pahami.” Dari situ R.A Kartini pun beberapa kali mengikuti pengajian tafsir Kiai Sholeh Darat. Dalam salah satu pengajian Kiai Sholeh Darat, secara tersiraat R.A. Kartini memohon gurunya itu agar menerjemahkan Al-Qur’an  ke dalam bahasa Jawa. Karena bagi Kartni tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Permintaan tersebut mendapat respun positif, sehingga Kiai Sholeh Darat pun tergerak menuliskan terjemahan Al-Qur’an. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.

Tetapi pada waktu itu penjajahan Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Mereka tak segan membakar terjemahan Al-Qur’an, baik yang ditulis dalam akssara latin maupun aksara Jawa. Tak habis akal, Kiai Sholeh Darat memiliki solusi atas larangan penjajahan. Ia menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf arab gundul tetapi berbahasa Jawa (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir danterjemahan Al-Qur’an ini diberi nama Kitab Tafsir Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Setelah selesai dicetak, Kiai Sholeh memberikan hadiah kitab tafsir ini kepada R.A. Kartini dalam acara tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, seorang bupati Rembang.


Sejak saat itu, Kiai Sholeh Darat banyak menulis buku dengan menggunakan tulisan pegon. Ia hanya sesekali menulis dengan menggunakan bahasa Arab. Ikhtiarnya adalah agar karya-karyanya bisa dipahami dan dicerna dengan baik oleh masyarakat awam secara luas. Ia adalah pelopor ulama yang menulis buku agama dengan menggunakan bahasa Jawa. Tak heran apabila masyarakat awam kala itu sangat terbantu dengan kehadiran buku-buku karya Kiai Sholeh Darat. Sehingga buku-buku Kiai Sholeh pun menjadi pegangan utama sebagai bahan ajar di pesantren dan langgar di Jawa kala itu. Kiai Sholeh menjadi ulama visioner yang memiliki kontribusi luar biasa terhadap tersedianya referensi keislaman yang mudah dipahami dan dekat dengan masyarakat awam.

Sumber: Buku KH Sholeh Darat; Maha Guru para Ulama Nusantara

No comments:

Post a Comment

Designed By: Ali Maskur Nt