Riwayat
Keluarga Kiai Sholeh
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, atau lebih dikenal dengan
sebutan Mbah Sholeh Darat. Ada dua alasan kenapa dipanggil”Kiai Sholeh Darat”.
Pertama, sesuai dengan akhir surat yang ia tujukan kepada Penghulu Tafsir Anom,
penghulu Kraton Surakarta, yaitu “Al-Haqir Muhammad Salih Darat” dan juga
menulis nama “Muhammad Salih ibn ‘Umar Darat Semarang” ketika menyebut nama
guru-gurunya dalam kitab al-Mursyid al-Wajiz. Kedua, sebutan “Darat” dibelakang
namanya, karena ia tinggal di suatu kawasan bernama “Darat”, yaitu suatu
kawasan dekat pantai utara Kota Semarang tempat mendarat orang-orang yang
datang dari luar Jawa. Adanya laqab (penambahan) ini, memang sudah menjadi
tradisi atau ciri khas dari orang-orang yang terkenal di masyarakatnya pada
masa itu. Kini, di kawasan Darat, Semarang Utara didirikan Masjid Sholeh Darat
yang merupakan cikal bakal pesantren Kiai Sholeh Darat.
Kiai Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M. Dalam riwayatb lain, Sholeh Darat dilahirkan di Bangsri. Semasa Kecil ia dipanggil Sholeh. Sholeh lahir dan dibesarkan di dalam keluarga ‘alim yang cinta tanah air. Ayahnya adalah Kiai Umar merupakan tokoh ulama cukup terpandang dan disegani di kawasan pantai utara Jawa. Kiai Umar juga seorang pejuang perang Jawa (1825-1830), sekaligus orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Kiai Umar beserta kawan, kolega dan santri-santrinya berjuang gigih mempertahankan kehormatan tanah air dari jajahan Belanda. Sayangnya data terkait ibunda Sholeh Darat tidak diketemukan riwayat dan referensinya.
·
Jenjang
Keilmuan Selama di Jawa
Kiai Sholeh
Darat memiliki riwayat pendidikan yang cukup panjang. Apalagi, ayahnya
berkeinginan kuat mengantarkan Sholeh Darat menjadi ulama yang berpendidikan.
Tak heran Ayahnya menyertai rihlah ilmiah yang dilakukan oleh Kiai Sholeh
Darat. Lebih-lebih Sholeh Darat juga merespon positif apa yang menjadi ikhtiar
ayahnya itu. Soleh Dharat menunjukkan ketekunan, keseriusan , kesabaran serta
kesadaran akan pentingnya tafaqquh f
ad-din, mendalami ilmu agama. Maklumnya
seorang putra Kiai, Soleh kecil mendapatkan pendidikan agama langsung dari
keluarganya. Soleh belajar membaca Al Qur’an dan mempraktikkan pelajaran fiqih
dasar; terkait ibadah shalat, puasa, berdoa dan akhlakul karimah.
Kiai Umar
kala itu dipercaya penuh oleh pangeran diponegoro untuk mengkoordinir gerakan
jihad dipantai utara Jawa, sehingga rumah nya kerap dijadikan tempat
perkumpulan teman-teman seperjuangan. Daeri situ Sholeh kecil juga mendapatkan
banyak kesempatan untuk berkenalan sekaligus menimba ilmu kepada teman-teman
orang tuanya, yang juga merupakan para kiai terpandang. Dalam sebuah riwayat
ditegaskan bahwa Sholeh Darat berguru pada teman-teman ayahnya tersebut,
diantaranya adalah: Kiai Hasan Basari, Kiai Syada, Kiai Darda, Kiai Murtadha
dan Kiai Jamsari.
Selanjutnya,
pada usia remaja, Sholeh Darat ”nyantri”
pada Kiai M. Syahid, seorang ulama pengasuh Pesantren Waturoyo, Margoyoso
Kajen, Daerah Karasidenan Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri.
Kiai M. Syahid adalh cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II
(1727-1749). Kepada Kiai M. Syahid ini Kiai Sholeh Darat belajar beberapa kitab
Fikih. Diantaranya adalah Fath al-Qarib,
Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim, Syarh al-Katib, Fath al-Wahhab dan lain
sebagainya. Kiai Sholeh Darat berguru pada Kiai Raaden Haji Muhammad Shalih Ibn
Asnawi Kudus. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar tafsir al-Jalalain.
Kiai Soleh
Darat juga sempat ”nyantri kalong” di
daerah Semarang. Ia pernah belajar Nahwu dan Sharaf kepada Kiai Ishak Damaran
Semarang; belajar Ilmu Falaq kepada Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Baquni,
seorang mufti di Seamarang; mengaji Kitab Jauhar
at-Tauhid dan Minhaj al-Abidin kepada
Kiai Ahamad Bafaqih Ba’ahvi Semarang; mengkaji kitab al-Masa’il al-Sittin kepada Syekh Abd al-Ghani Bima, Semarang.
Kiai Sholeh
Darat juga sempat ”ngelmu” kepada
Kiai Ahmad Alim, Bulus, Gebang, Purworejo. Kepadanya ia mempelajari ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir Al Qur’an. Oleh Ahmad Alim ini, Kiai
Sholeh Darat diperbantukan kepada Zain Al-Alim untuk mengasuh sebuah Pesanteren
di Dukuh Salatiang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.
Melihat
keberagaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai sholeh Darat dari beberapa
Gurunya di tanah Jawa, menunjukkan keistimewaan Kiai Sholeh Darat menekuni ilmu
agama. Hal ini segaligus menunjukkan kepakaran dan kapasitas keilmuan Kiai
Sholeh Darat yang mumpuni.
· Naik Haji dan Berguru di Mekkah
Setelah
belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Sholeh Darat diajak ayahnya untuk
memenuhi panggilan menuanaikan ibadah haji. Uniknya, sebelum samapai di tanah
Haramain, keduanya singgah dulu beberapa malam di Singapura. Yakni menanti jin
resmi sekaligus kapal yang akan berangkat ke Tanah Suci. Kendati demikian
berbekal ilmu agama yang mumpuni, Kiai Umar dan Sholeh Darat juga sempat
mengajar agama di sana. Seiring waktu, santrinya semakin banyak, terutama dari
kalangan etnis Melayu dan Jawa. Tak lama, para santri menggambar kepergian
keduanya ke Tanah Suci.
Selepas
menuntaskan ibadah haji, Kiai Umar dipanggil Rahmatullah di Mekkah dan
dimakamkan di sana. Kemudian Kiai Sholeh Darat menetap di Mekkah selama
beberapa tahun-berguru kepada beberapa ulama Haramain. Pada masa itu, di
Haramain telah ada komunitas ulama Jawi (Bilad al-Jawwah). Yakni komunitas para
ulam dan santri yang berasl adari Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah guna
memperdalam ilmu agama.
Selama
berada di Mekkah, Kiai Sholeh Darat telah berguru kepada beberapa ulama yang
masyhur kala itu. Mula-mula, Sholeh Darat belajar ilmu-ilmu aqidah, khususnya
kitab Umm Al-Barabin (karya
As-Sanusi) kepada Syekh Muhammad al-Maqri al-Mashri al-Makki. Selanjutnya
berguru kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di
masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Fiqh dengan
menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Kattib, serta nahwu dengan
menggunakan kitab Alfiyah ibn Malik.
Disamping
itu juga, belajar kitab Ihya ‘Ulumuddin (karya
Imam Ghazali) kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Shalih
al-Zawawi al-Makki, belajar kitab Al-Hikam
(Karya Ibn ‘Atha’illah) kepada Syekh an-Nahrawi al-Mishri al-Makki; belajar
kitab Fath al-Wahhab dari Kiai Zahid
dan Syeikh Umar al-Syami; belajar kitab Syarh
al-Thahir kepada Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri. Kiai Sholeh Darat juga
belajar tafsir Al Qur’an kepada Syekh Jamal, seorng mufti madzhab Hanafiyyah di
Mekkah.
Dari
beberapa gurunya di Tanah Suci tersebut, Kiai Sholeh mendapatkan ”ijazah”. Ijazah dalam tradisi Pesantren
adalah pencantuman nama dalam suatu mata rantai (sanad) pengetahuan yang
dikeluarkan oleh seorang guru terhadap murid yang telah menyelesaikan pelajaran
tertentu, sehingga si murid dianggap menguasai dan dapat mengajarkan kepada
orang lain. Ijazah ini hanya diberikan kepada murid-murid senior dan khusus
pada kitab-kitab besar dan masyhur, semisal Fath
al-Wahhab, Syarh al-Khatib dan Ihya ‘Ulumuddin. Dari sini pulalah apa
yang dipelajari Kiai Sholeh Darat dari kitab-kitab tersebut menjadi sumber
inspirasi dan berpengaruh terhadap sebagian besar karya tulisnya, yang sebagian
besar dicetak dalam tulisan pegon
(tulisan Arab berbahasa Jawa).
Lazimnya
tradisi yang berjalan di komunitas Jawi, setelah Kiai Sholeh Darat
menyelesaiakan ”nyantri” ke beberapa
ulama masyhur di tanah Haramain, ia pun di-ijazahi untuk ikut mengajar di sana.
Kepercayaan para Ulama untk memberikan kesempatan menjadi pengajar di tanah
Haramain kala itu menjadi kebanggan dan amanah yang besar, karena tidak dapat
dicapai tanpa bekal ketekunan, kesabaran, tawadu’an, dan kecerdasan ilmu dan
spiritual di atas rata-rata.
· Membangun Rumah Tangga
Selama
hayatnya, Kiai Sholeh Darat pernah menikah sebanyak tiga kali. Perkawinan yang pertama adalah ketika ia masih di Mekkah.
Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinan yang pertama ini ia di
karuniai anak yang diberi nama Ibrahim. Ttkala Kiai Sholeh Darat pulang ke
Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan anaknya tidak diikutsertakan ke Jawa.
Ibrahim ini tidak menurunkan keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang
pertama ini, Kiai Sholeh Darat menggunakan nama “Abu Ibrahim” dalam halaman
sampul kitab tafsirnya, Fidh Al-Rahman.
Perkwinan
kedua, setelah berada di Semarang, dengan Sofiyah, putri Kiai Murtadha, teman karib
Bapaknya. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai dua orang putra, Yahya dan
Khalil. Dari Kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan
yang bisa dijumpai hingga kini.
Sedangkan
pernikahannya yang krtiga dengan Aminah, Putri Bupati Bulus, Purworejo,
keturunan Arab. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai anak. Salah stu
keturunannya adalah Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Dahlan,
santri atau murid Kiai Soleh Darat dari Tremas, Pacitan. Dari perkwinan ini
melahirkan dua orang anak, masing-masing Rahmad dan Aisyah. Kiai Dahlan
meninggal di Mekkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Amir, juga
santrinya sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahrah ini tidak
melahirkan keturunan.
· Mulai Mengajar Para Santri
Pada masa
itu, Kiai Sholeh Darat mengajar beberapa tahun di Mekkah bersama kawan
seperjuangan dari Komunitas Jawi lainnya seperti Syaikh Ahmad al-Fathani, Kiai
Mahfudz Tremas, Kiai Nawawi Banten, Syekh Ahmad Al Fathani, Kiai Kholil
Bangkalan dan lainnya. Khusus Kiai Mahfudz Tremas , baik sebelum dan sesudah
berangkat ke Tanah Suci pernah jjuga berguru kepada Kiai Sholeh Darat.
Berbeda
dengan para ulama yang memutuskan tetap tinggal di Mekkah hingga akhir hayat,
Kiai Sholeh Darat-dengan semangat hubbul
wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) – lebih memilih
untuk pulang ke Jawa. Keputusan ‘mudik’ tersebut sangat dipengaruhi oleh ajakan
‘nekad’ dari Kiai Hadi Giri Kusumo dan undangan dakwah besama sahabatnya Kiai
Kholil Bangkalan.
Keputusan
Kiai Sholeh Darat dan Kiai Kholil Bangkalan untuk kembali ke Nusantara
berkontribusi besar dalam mencetak kader-kader Ulama selanjutnya. Mereka
membawa gerbong besar dalam upaya perluasan dan kemajuan dakwah islam,
khususnya di pulau Jawa Madura. Keduanya menjalin hubungan yang akrab, baik
sewaktu masih nyantri di tanah Haramain maupun selepas pulang dan mengasuh
pesantrennya masing-masing. Kedua Kiai ini juga saling bertukar santri. Para
santri senior yang sudah tamat ngaji kepada Kiai Kholil biasanya diutus untuk
mengaji kepada Kiai Sholeh Darat, begitupun sebaliknya. Maka tak heran, apabila
santri-santri Kiai Kholil juga merupakan santri Kiai Sholeh Darat.
·
Para Santri
Kiai Sholeh
Di antara
tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Darat adalah, Kiai Hasyim Asy’ari,
pendiri Nahdlatul Ulam (NU), Kiai Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyyah, Kiai R.
Dahlan Tremas, seorang ahli Falak (w. 1329/1939), Kiai Amir Pekalongan (w.
1357/1939), yang juga menantu Kiai Sholeh Darat, Kiai Idris (nama aslinya
Slamet), solo (w. 1341/1927), Kiai Sya’ban Bin Hasan, Semarang (w. 1946), yang
menulis artikel Qabul al-Ataya’an Jawabi
ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu bagian dari
kitab Majmu’at Al-Syari’at, karangan Kiai Sholeh Darat, Kiai Abdul Hamid Kendal
(w. 1348/1930), Kiai Tahir, penerus Ponpes Mangkang Wetan, Semarang Barat, Kiai
Sahli salah seorang Kiai di Kauman Seamarang, Kiai Dimyati Tremas, Kiai Khalil
Rembang (w. 1358/1940), Kiai Munawwir Krapyak, Yogyakarta (w. 1358/1940), Kiai
Dahlar Watucongkol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang, Kiai Ridwan ibn
Mujahid Semarang (w. 1368/1950), Kiai Abd al-Shamad Surakarta yang merupakan
bapak dari Kiai Muhab Arifin, Kiai Ali Barkan, Kiai Tafsir Anom penghulu
Keraton Surakarta, serta bapak dari Kiai R. Muhammad Adnan, Kiai Yasir Areng
Rembang, serta R.A. Kartini Jepara.
· Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari
Diantara
sekian banyak santri, ada dua nama santri yang cukup pesohor, yakni Hasyim dan
Darwis. Hasyim berasal dari Jombang dan Darwis berasal dari Yogyakarta.
Mula-mula keduanya belajar di Pesantren Bangkalan asuhan Kiai Kholil, berbekal
kecerdasan yang dimiliki oleh kedua santri ini, mereka mampu ‘melahap’ habis
kitab-kitab yang diajarkan Kiai Kholil. Tak ayal, dalam waktu bersamaan,
keduanya didelegasikan menuju Semarang untuk bertemu Kiai Sholeh Darat. Kala
itu Darwis berusia 16 tahun, sedangkan Hasyim masih 14 tahun. Mereka berdua pun
mondok selama dua tahun penuh kepada
Kiai Sholeh Darat. Dua tahun terbilang waktu yang singkat, akan tetapi dua
muridnya itu memang memiliki kepandaian di atas rata-rata.
Tak ayal,
Kiai Sholeh Darat pun mengutus keduanya memperdalam dalam ilmu agama di tanah
Haramain. Keduanya memenuhi perintah Kiai Sholeh Darat untuk bertemu karibnya
bernama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam Masjidil Haram. Melihat
kepandaian keduanya, Syekh Ahmad lantas menjadikan mereka sebagai murid
kesayangan. Di Mekkah, Darwis lebih menyukai pelajaran sejarah dan pergerakan
Islam, sedangkan Hasyim condong mendalami kajian hadist.
Darwis
kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, sepulangnya dari Mekkah dia
merintis berdirinya pergerakan umat, yang pada akhirnya dikenal Muhammadiyah pada
1912 di Yogyakarta. Sedangkan Hasyim Asy’ari pulang ke Jombang, dibantu Kiai
Romli mendirikan pesantren di daerah yang dulunya dijadikan sarang rampok dan
maksiat,yakni Tebuireng. Pada tahun 1926, Kiai Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah,
Kiai Bisyri Syansuri dan Kiai Faqih Maskumambang, bersama-sama mendirikan
perkumpulan umat bernama Nahdlatul Ulama.
·
Kartini dan
Tafsir Farid Ar-Rahman
Kiai Sholeh
Darat termasuk Ulama yang tidak terikat dengan aliran-aliran dalam islam. Ia
justru sangat menghargai aliran yang berkembang pada saat itu. Ia lebih
menekankan pada nilai-nilai pokok (substansi) islam dan bukan furu’iyah (cabang). Kiai Sholeh darat
memosisikan diri sebagai pedakwah yang santun, ia berdakwah dengan bahasa yang
sangat mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan awam dari semua golongan
masyarakat. Tak heran apabila kemasan dakwahnya bisa diterima masyarakat secara
luas, mulai dari kalangan rakyat kecil hingga keluarga priyayi atau bangsawan.
Salah satu
muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan Kiai adalah Raden Ajeng
Kartini. Menurut catatan cucu Kiai Sholeh Darat, Kiai Al Kholil, Kartini pernah
punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya
sering memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuahayat Al-Qur’an. Tak
heran, Kartini pernah beranggapan bahwa pelajaran agama sebatas ritual belaka
tanpa ada makna yang bisa dipahami.
Kebetulan
pada masa itu Kiai Sholeh Darat memiliki agenda rutinmengisi ceramah keliling
ke beberapa keluarga bangsawan di beberapa kabupaten pantai utara Jawa. Sampai
suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat
itu , sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga.
Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain dari balik
hijab (tabir/tirai). Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir
Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat
memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat dan telinganya menangkap kata
demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini
Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Kartini meras tercerahkan. Betapa Kiai Sholeh Darat mampu menerjemahkan
sekaligus menafsirkan surat Al-Fatihah secara gamblang hingga mudah dipahami
orang awam.
Tak pelak,
selepas pengajian , kartinipun meminta tolong pamannya agar bersedia
menemaninya untuk menemui Kiai Sholeh Darat. Kartini pun berkata, ”Saya merasa
perlu menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Romo Kiai. Saya
bersyukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian Romo Kiai
menerjemahkan surah Al-Fatihah kedalam bahasa Jawa sehingga mudah dipahami dan
dihayati oleh masyarakat awam, seperti Saya. Kiai lain tidak berani berbuat
seperti itu, sebab kata mereka Al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan kedalam
biasa lain atau bahasa Jawa.
Lebih lanjut Kartini menjelaskan,
“Selama ini surah Al-Fatihah gelap bagi Saya. Saya tidak mengerti sedikitpun
akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada
makna yang tersirat sekalipun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa
Jawa yang Saya pahami.” Dari situ R.A Kartini pun beberapa kali mengikuti
pengajian tafsir Kiai Sholeh Darat. Dalam salah satu pengajian Kiai Sholeh
Darat, secara tersiraat R.A. Kartini memohon gurunya itu agar menerjemahkan
Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Karena
bagi Kartni tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Permintaan tersebut mendapat respun positif, sehingga Kiai Sholeh Darat pun
tergerak menuliskan terjemahan Al-Qur’an. Kartini telah menggugah kesadaran
Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam
Bahasa Jawa.
Tetapi pada waktu itu penjajahan
Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Mereka tak segan
membakar terjemahan Al-Qur’an, baik yang ditulis dalam akssara latin maupun
aksara Jawa. Tak habis akal, Kiai Sholeh Darat memiliki solusi atas larangan
penjajahan. Ia menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf arab gundul
tetapi berbahasa Jawa (pegon)
sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir danterjemahan Al-Qur’an ini
diberi nama Kitab Tafsir Faid Ar-Rahman, tafsir
pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Setelah
selesai dicetak, Kiai Sholeh memberikan hadiah kitab tafsir ini kepada R.A. Kartini
dalam acara tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, seorang bupati
Rembang.
Sejak saat itu, Kiai Sholeh Darat
banyak menulis buku dengan menggunakan tulisan pegon. Ia hanya sesekali menulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Ikhtiarnya adalah agar karya-karyanya bisa dipahami dan dicerna dengan baik
oleh masyarakat awam secara luas. Ia adalah pelopor ulama yang menulis buku
agama dengan menggunakan bahasa Jawa. Tak heran apabila masyarakat awam kala
itu sangat terbantu dengan kehadiran buku-buku karya Kiai Sholeh Darat.
Sehingga buku-buku Kiai Sholeh pun menjadi pegangan utama sebagai bahan ajar di
pesantren dan langgar di Jawa kala itu. Kiai Sholeh menjadi ulama visioner yang
memiliki kontribusi luar biasa terhadap tersedianya referensi keislaman yang
mudah dipahami dan dekat dengan masyarakat awam.
·
Jihad
Ilmiah Melawan Penjajah
Tak bisa dipungkiri Kiai Sholeh
Darat memiliki reputasi keilmuan yang sahih dan diakui baik di tanah Jawa,
Haramain dan juga kawasan Asia. Beliau termasuk jajaran Kiai yang berfikif
visioner dan out of the box, disaat
kiai-kiai lain masih melarang penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa selain
Arab. Beliau berani melawan arus tradisi dengan menullis Tafsir Faid Ar-Rahman dalam bahasa pegon.
Kiai Sholeh Darat juga menjalin
korespondensi dengan para Ulama dari tanah seberang, Singapura, Malaysia dan
Thailand. Sehingga kitab-kitab beliau juga diterbitkan dan diajarkann disana.
Bahkan di Singapura konon ada satu kampung yang dinisbahkan dengan memakai nama
Shaleh, merujuk pada Kiai Sholeh Darat Semarang. Di kawasaan tersebut beliau
dikenal dengan nama Tuan Haji Muhammad Shalih Samarani.
Kiai Sholeh Darat merupakan ulama
yang gentar menghaadapi tekanan penjajah. Kendati pernah belanda selalu
mengawasi ketatt pergerakan dakwah Kiai Sholeh Darat, beliau selalu bisa
mengemas pesan-pesan jihad dengan taktis hingga tertanam kuat di sanubari
masyarakat. Dalam kitabnya Majmu’at As-Syari’at Al-Kafiah li Al-‘Awam, Kiai
Sholeh secara lantang memfatwakan haramnya bekerjasama atau meniru perbuatan
keji kaum penjajahan Belanda.
Dalam suatu riwayat, penjajah
Belanda khawatir dengan dakwah Kiai Sholeh Darat. Mereka lantas menyogok
beliau, maka diutuslah ajudan dengan membawa satu peti uang, dihadiahkan kepada
Kiai Sholeh Darat. Harapannnya supaya Kiai Sholeh Darat bisa terkompromi dengan
kaum penjajah. Mengetahui itu, Kiai Sholeh menolaknya mentah-mentah. Di hadapan
utusan tu, beliau tiba-tiba mengubah bongkahan batu menjadi emas. Dengan maksud
menunjukkan beliau tidak butuh harta dunia. Namun Kiai Sholeh Darat menyesal
memperlihatkan karomahnya di hadapan banyak orang, hingga bercucuran air
matanya seraya bertaubat.
·
Perhatian
Terhadap Kaum Awam
Kiai Sholeh
Darat dikenal sangat perhatian terhadap iman orang awam. Kepedulian Sholeh
Darat dengan realitas umat Islam di Jawa bisa dibaca dalam berbagai karyanya.
Semisal, Terjemah Sabil Al-‘Abid ‘Ala
Jauharah At-Tauhid, yang merupakan terjemahan dengan menggunakan bahasa
Jawa dari Kitab Jauharah At-Tauhid
karya Ibrahim Al-Laqani yang membahas tauhid, agar bermanfaat bagi orang awam
yang tidak mengerti bahasa Arab. Dalam terjemahan itu masih menggunakan
lafadnya nazam (syair) yang kemudian diterjemahkan sebagai syarah (penjelasan) dari materi yang diambil dari Hasyisah
Al-Syaikh Al-‘Alamah Ibrahim Al-Bajuri agar bermanfaat juga bagi orang awam.
Ia juga
menerjemahkan kitab Matn Al-Hikmah
untuk memudahkan pemehaman orang awam yang belajar agama (mengaji). Dalam kitab
Majmu’ah As-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-‘Awam, Kiai Sholeh Darat memperingatkan
kepada orang yang masih awam, agar tidak jatuh pada paham atau keyakinan
sesaat, seperti paham kebatinan yang menyatakan bahwa amal yang diterima oleh
amal hati, seperti ajaran Wahdatul Wujud (Manunggaling Kawula Gusti), bersatu
dengan tuhan.
Adapun yang
dimaksud orang awam oleh Kiai Sholeh Darat, yaitu orang islam tanah Jawa yang
tidak mengerti bahasa Arab, berfikir ringkas (sederhana), taqlid dalam
keimanannya dan tidak menggunakan dalil (tidak argumentif). Kondisi semacam ini
terutama diakibatkan belenggu kolonial Belanda, sehingga masyarakat jatuh pada
situasi kebodohan dan kemiskinan.
Untuk itu
Kiai Sholeh Darat berusaha memberantas kebodohan dengan pesan dan anjuran
menuntut ilmu yang bermanfaat. Sedangkan untuk memberantas kemiskinan dengan
mewajibkan bekerja (kasab) bagi orang awam, tidak tamak (mengharapkan harta
orang lain) dan tidak menjadi pengemis, mencari harta (rizqi) yang halal, tidak
boleh pasrah dan bergantung pada takdir. Maka setiap orang muslim harus
introspeksi, apakah telah berbuat taat, sehingga harus bersyukur atau telah
berbuat maksiat, sehingga harus bertaubat. Sebab perbuatan taat dan taubat
harus dilaksanakan dengan kasab (usaha).
Dengan
demikian, dalam teori ilmu kalam yang berkaitan dengan perbuatan manusia, Kiai
Sholeh Darat menjelaskan bahwa paham Jabariah dan Qodariah tentang perbuatan
manusia adalah kurang tepat. Sehingga paham Ahlusunah memilih berada di
tengah-tengah antara Jabariah dan Qodariah. Sebagai Ulama yang berfikiran maju,
Ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kasab (kerja keras), setelah itu
baru menyerahkan diri secara pasrahkepada Yang Maha Menentukan. Ia sangat
mencela orang yang tidak mau bekerja keras karenaa memandang segala nasibnya
telah ditakdirkan Allah SWT. Sebaliknya ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan
manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala
perbuatannya.
·
Menulis
hingga Akhir Hayat
Di akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya
tulis besar. Tidak sedikir karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab.
Setelah Kiai Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1875), yang banyak menulis kitab
berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Sholeh Darat adalah satu-satunya Kiai, akhir
abad ke-19 yang karya tulis keagamaannya berbahasa Jawa. Beliau menulis kitab
dengan lafadz Pegon (huruf Arab berbahasa Jawa), yang semuanya menggunakan
Bahasa Jawa pesisiran atau diistilahkan sebagai Al-Lughah Al-Jawiyyah
Al-Merikiyyah (Bahasa Jawa Setempat). Dalam kitabnya, Majmu’ah Asy-Syari’ah Al-Khafiyatu lil ‘Awam, Kiai Sholeh Darat
menulis, “...Kerono arh supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun awam kang ora
ngerti boso Arab Arab muga-muga dadi manfaat bisa nglakoni kabeh kang sinebut
ing njeroni iki tarjamah...” Pernyataan ini jelas menjadi asal-usul dari visi
literasi Kiai Sholeh Darat.
Ikhtiar
Kiai Sholeh Darat menulis sebagian besar kitab berbahasa pegon adalah demi
mempermudah kalangan awam di Jawa memahami ajaran Islam. Misalnya di
pendahuluan kitab Al-Hikam, Kiai Sholeh Darat menyatakan bahwa dia menulis
karyanya ini sebagai versi pendek (rangkuman) dari versi berbahasa Arab Matn Al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn
‘Atha’illah Al-Iskandary. Ini dilakukan agar mudah dipahami dan dicerna oleh
kalangan awam. Tak hanya itu, dalam salah satu bab dalam Majmu’at, Sholeh Darat
menyatakan bahwa “Kitab ini singkat dan
sederhana. Ini hanya ditujukan bagi kalangan awam seperti saya. Oleh karena
itu, Saya tidak membuat buku ini mencakup semua aspek fiqih. Kitab ini hanya
membahas aspek-aspek yang paling umum dipraktikkan oleh kalangan muslim awam”.
Adapun
karya-karya Kiai Sholeh Darat yang sebagiannya merupakan terjemah, berjumlah
tidak kurang dari 14 buah, yaitu:
a.
Majmu’at
As-Syariat Al-Kafiyat li Al-Awam. Kitab ini khusus membahas
persoalan-persoalan fikih yang ditulis menggunalkan bahasa Jawa bertulis pegon.
b.
Munjiyat
Metik Saking Ihya ‘Ulum Al-Din Al-Ghozali. Sebuah kitab yang
merupakan petikan dari kitab Ihya jilid III dan IV.
c.
Matn
Al-Hikam, merupakan kitab tasawuf terjemahan dan ringkasan dari kitab
Al-Hikam karya Syekh Ahmad ibn ‘Atha’illah Al-Iskandary (W. 709 H/1309 M)dengan
menggunakan bahasa Jawa. Kitab ini mulai ditulis tahun 1289 H/1868 M untuk
kepentingan masyarakat islam awam yang tidak mengusai bahasa Arab.
d.
Lathaif
Al-Thaharat, berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan
keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditis menggunakan bahasa
Jawa.
e.
Manasik
Al-Hajj, berisi tuntunan atau tata cara ibadah haji.
f.
Pasolatan, berisi
hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini
ditulis dengan bahasa Jawa berhuruf Arab pegon.
g.
Sabilul
‘Abid terjemah Jauhar
Al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani, merupakan terjemahan bahasa Jawa.
h.
Minhaj
Al-Atqiya, berisi tuntunan bagi orang-orang yang bertaqwa atau cara-cara
mendekatkan diri kepada Allah.
i.
Al-Mursyid
Al-Wajiz berisi tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu Tajwid. Penulisan
kitab ini berakhir pada hari Selasa tanggal 26 Dzul Qa’dah 1317 H / 1900 M dan
penyalinan ulang berakhir pada hari Selasa 28 Muharram 1318 H / 1900 H.
j.
Hadist
Al-Mi’raj.
k.
Syarh
Al-Maulid Al-Burdah, merupakan syarah kitab Maulid Al-Burdah karya
Muhammad Sa’id Al-Busyiri, yang membicarakan keagungan Muhammad SAW,
kemukjizatan Rasul dan keagungan Al Qur’an.
l.
Fa’id
Ar-rahman, ditulis pada 5 Rajab 1309 H / 1891 M. Kitab ini diterbitkan
di Singapura. Dalam kitab tafsir ini, diberi rujukan tafsir Al-Jalalain karangan Jalauddin
Al-Mahalli dan Jamaluddin Al-Suyuti, Tafsir
Al-Kabir karya Ar-Razi dan Lubab
Al-Ta’wil karya Al-Khazin. Kitab ini baru disusun sampai juz keenam, surat
An-Nisa’.
m.
Asrar
Al-Sholal.
n.
Syarh
Barzanji, berisi tentang isra’mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dan datangnya
perintah shalat fardlu sebanyak 5 waktu dalam sehari semalam.
Seluruh kehidupan Kiai Sholeh Darat diabdikan untuk dakwah dan
masyarakat. Kiai Sholeh Darat sadar masyarakat Jawa kala itu masih terbelakng
dan butuh bimbingan secara kontinyu. Tak ayal, Kiai Sholeh Darat melakukan
dakwah simultan ke berbagai Kabupaten di sepanjang pantai utara pulau Jawa. Di
sela-sela waktunya, dipergunakan untuk menggali ajara Islam, lalu menuliskannya
dalam bahasa yang paling mudah untuk dicerna oleh masyarakat Jawa. Karya
tulisnya mencakaup berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam, tauhid, fiqih,
tafsir Al-Qur’an, hadist dan tasawuf. Ia secara intensif mencurahkan segala
tenaga dan pikirannya untuk membukukan pendapat-pendapatnya tentang berbagai
masalah yang dihadapinya dalam konteks kemasyarakatan yang melingkupinya.
Perhatiannya tercurah terhadap pandangan hidup yang berdasarkan ajaran-ajaran
agama islam dan kehipupan spiritual setiap muslim. Melalui karya tuliisnya dan
peranan dakwahnya yang santun dan mencerahkan, berimplikasi positif kepada
banyaknya santri yang berdatangan nyantri kepada Kiai Sholeh Darat. Lebih dari
itu, dakwahnya juga dapat menarik
perhatian simpatik dari para masyarakat awam yang benar-benar menbutuhkan
pelajaran agama.
Hingga akhirnya pada usia ke-83 Kiai Sholeh Darat menghembuskan nafas
terakhirnya. Warisan besar yang ditinggalkannya berupa puluhan kitab yang
dituliskannya. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang pada 28
Ramadhan 1321 H / 18 Desember 1903 M.
·
Napak Tilas
Kiai Sholeh Darat
Hingga kini, Kiai Sholeh Darat
memiliki sekitar tujuh puluh trah
(keturunan) yang tersebar di berbagai daerah. Menariknya, peringatan Haul Kiai
Sholeh Darat diadakan rutin pada tanggal 10 Syawal. Hal ini semata-mata agar
masyarakat secara luas bisa mengikuti rangkaian acaranya, setelah merayakan
Lebaran dan Syawalan. Pada acara Haul ini biasanya menjadi ajang silaturahmi
trah keturunan Kiai Sholeh Darat. Mereka berkumpul dan bersilaturahmi di Masjid
Kiai Sholeh Darat Jl. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari yang terletak di
Semarang Utara.
Dari pertemuan silaturahmi ini,
keempat belas kitab kaarya Kiai Sholeh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian
kitab tersebut dicetak di Bombay (India), Mesir dan Singapura. Hingga kini,
keturunan Kiai Sholeh Dart terus melakukan pencarian dan penelusuran
kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan Kiai Sholeh Darat di
Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.
Di samping acara Haul yang
diselenggarakan masyarakat dan keturunan Kiai Sholeh Darat, Dinas Pariwisata
Kota Semarang Juga menyelenggarakan perhelatan budaya yang bertajuk “Peringatan
Labuhan Kiai Sholeh Darat Semarang” yang diselenggarakkan tiap bulan Desember.
Rangkain acara tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni Pasar Labuhan Semarang
dan prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat. Pasar Labuhan Semarang merupakan
even bazar yang meyediakan aneka barang kebutuhan sehari-hari, dilaksanakan di
sepanjang Jalan Kakap menuju Masjid Sholeh Darat. Sedangkan prosesi penyambutan
Kiai Sholeh Darat diselenggarakan di depan Pasar Boom Lama. Acara ini
menyimbolkan penyambutan Kiai Sholeh Darat dari menuntut ilmu di Haramain.
Kedatangannya disambut oleh ulama, santri dan masyarakat setempat. Kemudian
diarak dari Pelabuhan menuju Masjid Sholeh Darat. Sesampainya di masjid
kemudian ditandai dengan pemukulan kentongan di Masjid Sholeh Darat. Kentongan
tersebut juga menandai dimulainya pembukaan acara, dimulai dari pembacaan doa
Asmaul Husna dan halaqah pengajian kitab-kitab Kiai Sholeh Darat.
o Aziz
Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren
Nusantara-Riwayat, Pejuangan dan Doa, 2007, Kutub: Yogyakarta
o Abu Malikus
Shalih Dzahir, M. Ichwan (editor), Sejarah
& Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang, 2012, Panitia Haul Kiai Sholeh
Darat: Semarang
o Achmad
Rasyid R., mengenal Kiai Saleh Darat: Kiprah
dan pemikirannya, 2010, Majalah Nur Hidayat: Solo
o Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, 2013, Kencana: Jakarta
o Ghazali
Munir, Warisan intelektual Islam jawa
dalam pemikiran Kalam Muhammad Shalih Darat As-Samarani,2008, Walisongo
Press: Semarang
o Jajat
Burhanudin, Ulam & Kekuasaan,
2012, Mizan: Bandung
o Matuki HS
dan M. Isham El-Shaha (editor), Intelektualisme
Pesantren, 2003, Diva Pustaka: Jakarta
o Martin Van
Bruinessen, Kitab kuning, Pesantren dan
Tarekat, 2012, Gading Publishing: Yogyakarta
o M. Masrur, Kiai Sholeh Darat, Tafsir Faid Ar-Rahman dan
R.A. Kartini, Jurnal At-Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012: Semarang
o Munawwir
Aziz, Produksi Wacana Syiar Islam dalam
kitab pegon Kiai Saleh Darat Semarang dan Kiai Bisri Musthofa Rembang,Jurnal
Afkaruna, Vol. 9 No. 2, Juli-Desember 2013
o Salim A.
Fillah, Kisah Kedekatan KH Hasyim As’ari
dan KH Ahmad Dahlan, Harian Republika edisi 4 Agustus 2015
o Zamakhsyari
Dhoifier, Tradisi Pesantren, 1994,
LP3ES: Jakarta
o Ulum
Miftahul, Agustin Mufarohah, KH. Sholeh
Darat: Syarah Al Hikam, 2016, Sahifa Penerbit: Depok

mohon dikoreksi itu foto yg kiri bukan kh sholeh darat melainkan kh achyat chalimy mojokerto
ReplyDeleteNggih.. Suwun koreksine.. Akan segera saya ganti. Berarti yang salah yg foto berwarna ya?
ReplyDelete