Karena setiap pengalaman adalah Pelajaran, bukan sebatas Perjalanan #NUBackpacker

Breaking News

January 06, 2017

KH. SHOLEH DARAT; Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara (Biografi Lengkap)

      Riwayat Keluarga Kiai Sholeh

Nama lengkapnya adalah Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Sholeh Darat. Ada dua alasan kenapa dipanggil”Kiai Sholeh Darat”. Pertama, sesuai dengan akhir surat yang ia tujukan kepada Penghulu Tafsir Anom, penghulu Kraton Surakarta, yaitu “Al-Haqir Muhammad Salih Darat” dan juga menulis nama “Muhammad Salih ibn ‘Umar Darat Semarang” ketika menyebut nama guru-gurunya dalam kitab al-Mursyid al-Wajiz. Kedua, sebutan “Darat” dibelakang namanya, karena ia tinggal di suatu kawasan bernama “Darat”, yaitu suatu kawasan dekat pantai utara Kota Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar Jawa. Adanya laqab (penambahan) ini, memang sudah menjadi tradisi atau ciri khas dari orang-orang yang terkenal di masyarakatnya pada masa itu. Kini, di kawasan Darat, Semarang Utara didirikan Masjid Sholeh Darat yang merupakan cikal bakal pesantren Kiai Sholeh Darat.


            Kiai Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M. Dalam riwayatb lain, Sholeh Darat dilahirkan di Bangsri. Semasa Kecil ia dipanggil Sholeh. Sholeh lahir dan dibesarkan di dalam keluarga ‘alim yang cinta tanah air. Ayahnya adalah Kiai Umar merupakan tokoh ulama cukup terpandang dan disegani di kawasan pantai utara Jawa. Kiai Umar juga seorang pejuang perang Jawa (1825-1830), sekaligus orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Kiai Umar beserta kawan, kolega dan santri-santrinya berjuang gigih mempertahankan kehormatan tanah air dari jajahan Belanda. Sayangnya data terkait ibunda Sholeh Darat tidak diketemukan riwayat dan referensinya.

·         Jenjang Keilmuan Selama di Jawa

Kiai Sholeh Darat memiliki riwayat pendidikan yang cukup panjang. Apalagi, ayahnya berkeinginan kuat mengantarkan Sholeh Darat menjadi ulama yang berpendidikan. Tak heran Ayahnya menyertai rihlah ilmiah yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat. Lebih-lebih Sholeh Darat juga merespon positif apa yang menjadi ikhtiar ayahnya itu. Soleh Dharat menunjukkan ketekunan, keseriusan , kesabaran serta kesadaran akan pentingnya tafaqquh f ad-din, mendalami ilmu agama. Maklumnya seorang putra Kiai, Soleh kecil mendapatkan pendidikan agama langsung dari keluarganya. Soleh belajar membaca Al Qur’an dan mempraktikkan pelajaran fiqih dasar; terkait ibadah shalat, puasa, berdoa dan akhlakul karimah.

Kiai Umar kala itu dipercaya penuh oleh pangeran diponegoro untuk mengkoordinir gerakan jihad dipantai utara Jawa, sehingga rumah nya kerap dijadikan tempat perkumpulan teman-teman seperjuangan. Daeri situ Sholeh kecil juga mendapatkan banyak kesempatan untuk berkenalan sekaligus menimba ilmu kepada teman-teman orang tuanya, yang juga merupakan para kiai terpandang. Dalam sebuah riwayat ditegaskan bahwa Sholeh Darat berguru pada teman-teman ayahnya tersebut, diantaranya adalah: Kiai Hasan Basari, Kiai Syada, Kiai Darda, Kiai Murtadha dan Kiai Jamsari.

Selanjutnya, pada usia remaja, Sholeh Darat ”nyantri” pada Kiai M. Syahid, seorang ulama pengasuh Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Daerah Karasidenan Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M. Syahid adalh cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749). Kepada Kiai M. Syahid ini Kiai Sholeh Darat belajar beberapa kitab Fikih. Diantaranya adalah Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim, Syarh al-Katib, Fath al-Wahhab dan lain sebagainya. Kiai Sholeh Darat berguru pada Kiai Raaden Haji Muhammad Shalih Ibn Asnawi Kudus. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar tafsir al-Jalalain.
Kiai Soleh Darat juga sempat ”nyantri kalong” di daerah Semarang. Ia pernah belajar Nahwu dan Sharaf kepada Kiai Ishak Damaran Semarang; belajar Ilmu Falaq kepada Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Baquni, seorang mufti di Seamarang; mengaji Kitab Jauhar at-Tauhid dan Minhaj al-Abidin kepada Kiai Ahamad Bafaqih Ba’ahvi Semarang; mengkaji kitab al-Masa’il al-Sittin kepada Syekh Abd al-Ghani Bima, Semarang.

Kiai Sholeh Darat juga sempat ”ngelmu” kepada Kiai Ahmad Alim, Bulus, Gebang, Purworejo. Kepadanya ia mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir Al Qur’an. Oleh Ahmad Alim ini, Kiai Sholeh Darat diperbantukan kepada Zain Al-Alim untuk mengasuh sebuah Pesanteren di Dukuh Salatiang, Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.

Melihat keberagaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai sholeh Darat dari beberapa Gurunya di tanah Jawa, menunjukkan keistimewaan Kiai Sholeh Darat menekuni ilmu agama. Hal ini segaligus menunjukkan kepakaran dan kapasitas keilmuan Kiai Sholeh Darat yang mumpuni.

·         Naik Haji dan Berguru di Mekkah

Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Sholeh Darat diajak ayahnya untuk memenuhi panggilan menuanaikan ibadah haji. Uniknya, sebelum samapai di tanah Haramain, keduanya singgah dulu beberapa malam di Singapura. Yakni menanti jin resmi sekaligus kapal yang akan berangkat ke Tanah Suci. Kendati demikian berbekal ilmu agama yang mumpuni, Kiai Umar dan Sholeh Darat juga sempat mengajar agama di sana. Seiring waktu, santrinya semakin banyak, terutama dari kalangan etnis Melayu dan Jawa. Tak lama, para santri menggambar kepergian keduanya ke Tanah Suci.

Selepas menuntaskan ibadah haji, Kiai Umar dipanggil Rahmatullah di Mekkah dan dimakamkan di sana. Kemudian Kiai Sholeh Darat menetap di Mekkah selama beberapa tahun-berguru kepada beberapa ulama Haramain. Pada masa itu, di Haramain telah ada komunitas ulama Jawi (Bilad al-Jawwah). Yakni komunitas para ulam dan santri yang berasl adari Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah guna memperdalam ilmu agama.

Selama berada di Mekkah, Kiai Sholeh Darat telah berguru kepada beberapa ulama yang masyhur kala itu. Mula-mula, Sholeh Darat belajar ilmu-ilmu aqidah, khususnya kitab Umm Al-Barabin (karya As-Sanusi) kepada Syekh Muhammad al-Maqri al-Mashri al-Makki. Selanjutnya berguru kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya Kiai Sholeh Darat belajar Fiqh dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Kattib, serta nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah ibn Malik.

Disamping itu juga, belajar kitab Ihya ‘Ulumuddin (karya Imam Ghazali) kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, belajar kitab Al-Hikam (Karya Ibn ‘Atha’illah) kepada Syekh an-Nahrawi al-Mishri al-Makki; belajar kitab Fath al-Wahhab dari Kiai Zahid dan Syeikh Umar al-Syami; belajar kitab Syarh al-Thahir kepada Syekh Yusuf al-Sanbalawi al-Mishri. Kiai Sholeh Darat juga belajar tafsir Al Qur’an kepada Syekh Jamal, seorng mufti madzhab Hanafiyyah di Mekkah.

Dari beberapa gurunya di Tanah Suci tersebut, Kiai Sholeh mendapatkan ”ijazah”. Ijazah dalam tradisi Pesantren adalah pencantuman nama dalam suatu mata rantai (sanad) pengetahuan yang dikeluarkan oleh seorang guru terhadap murid yang telah menyelesaikan pelajaran tertentu, sehingga si murid dianggap menguasai dan dapat mengajarkan kepada orang lain. Ijazah ini hanya diberikan kepada murid-murid senior dan khusus pada kitab-kitab besar dan masyhur, semisal Fath al-Wahhab, Syarh al-Khatib dan Ihya ‘Ulumuddin. Dari sini pulalah apa yang dipelajari Kiai Sholeh Darat dari kitab-kitab tersebut menjadi sumber inspirasi dan berpengaruh terhadap sebagian besar karya tulisnya, yang sebagian besar dicetak dalam tulisan pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).

Lazimnya tradisi yang berjalan di komunitas Jawi, setelah Kiai Sholeh Darat menyelesaiakan ”nyantri” ke beberapa ulama masyhur di tanah Haramain, ia pun di-ijazahi untuk ikut mengajar di sana. Kepercayaan para Ulama untk memberikan kesempatan menjadi pengajar di tanah Haramain kala itu menjadi kebanggan dan amanah yang besar, karena tidak dapat dicapai tanpa bekal ketekunan, kesabaran, tawadu’an, dan kecerdasan ilmu dan spiritual di atas rata-rata.

     ·         Membangun Rumah Tangga

Selama hayatnya, Kiai Sholeh Darat pernah menikah sebanyak tiga kali. Perkawinan  yang pertama adalah ketika ia masih di Mekkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinan yang pertama ini ia di karuniai anak yang diberi nama Ibrahim. Ttkala Kiai Sholeh Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan anaknya tidak diikutsertakan ke Jawa. Ibrahim ini tidak menurunkan keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Sholeh Darat menggunakan nama “Abu Ibrahim” dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Fidh Al-Rahman.

Perkwinan kedua, setelah berada di Semarang, dengan Sofiyah, putri Kiai Murtadha, teman karib Bapaknya. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai dua orang putra, Yahya dan Khalil. Dari Kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini.

Sedangkan pernikahannya yang krtiga dengan Aminah, Putri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai anak. Salah stu keturunannya adalah Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Dahlan, santri atau murid Kiai Soleh Darat dari Tremas, Pacitan. Dari perkwinan ini melahirkan dua orang anak, masing-masing Rahmad dan Aisyah. Kiai Dahlan meninggal di Mekkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Amir, juga santrinya sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahrah ini tidak melahirkan keturunan.

      ·         Mulai Mengajar Para Santri

Pada masa itu, Kiai Sholeh Darat mengajar beberapa tahun di Mekkah bersama kawan seperjuangan dari Komunitas Jawi lainnya seperti Syaikh Ahmad al-Fathani, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Nawawi Banten, Syekh Ahmad Al Fathani, Kiai Kholil Bangkalan dan lainnya. Khusus Kiai Mahfudz Tremas , baik sebelum dan sesudah berangkat ke Tanah Suci pernah jjuga berguru kepada Kiai Sholeh Darat.

Berbeda dengan para ulama yang memutuskan tetap tinggal di Mekkah hingga akhir hayat, Kiai Sholeh Darat-dengan semangat hubbul wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) – lebih memilih untuk pulang ke Jawa. Keputusan ‘mudik’ tersebut sangat dipengaruhi oleh ajakan ‘nekad’ dari Kiai Hadi Giri Kusumo dan undangan dakwah besama sahabatnya Kiai Kholil Bangkalan.

Keputusan Kiai Sholeh Darat dan Kiai Kholil Bangkalan untuk kembali ke Nusantara berkontribusi besar dalam mencetak kader-kader Ulama selanjutnya. Mereka membawa gerbong besar dalam upaya perluasan dan kemajuan dakwah islam, khususnya di pulau Jawa Madura. Keduanya menjalin hubungan yang akrab, baik sewaktu masih nyantri di tanah Haramain maupun selepas pulang dan mengasuh pesantrennya masing-masing. Kedua Kiai ini juga saling bertukar santri. Para santri senior yang sudah tamat ngaji kepada Kiai Kholil biasanya diutus untuk mengaji kepada Kiai Sholeh Darat, begitupun sebaliknya. Maka tak heran, apabila santri-santri Kiai Kholil juga merupakan santri Kiai Sholeh Darat.

      ·         Para Santri Kiai Sholeh

Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Darat adalah, Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulam (NU), Kiai Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyyah, Kiai R. Dahlan Tremas, seorang ahli Falak (w. 1329/1939), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357/1939), yang juga menantu Kiai Sholeh Darat, Kiai Idris (nama aslinya Slamet), solo (w. 1341/1927), Kiai Sya’ban Bin Hasan, Semarang (w. 1946), yang menulis artikel Qabul al-Ataya’an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu bagian dari kitab Majmu’at Al-Syari’at, karangan Kiai Sholeh Darat, Kiai Abdul Hamid Kendal (w. 1348/1930), Kiai Tahir, penerus Ponpes Mangkang Wetan, Semarang Barat, Kiai Sahli salah seorang Kiai di Kauman Seamarang, Kiai Dimyati Tremas, Kiai Khalil Rembang (w. 1358/1940), Kiai Munawwir Krapyak, Yogyakarta (w. 1358/1940), Kiai Dahlar Watucongkol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang, Kiai Ridwan ibn Mujahid Semarang (w. 1368/1950), Kiai Abd al-Shamad Surakarta yang merupakan bapak dari Kiai Muhab Arifin, Kiai Ali Barkan, Kiai Tafsir Anom penghulu Keraton Surakarta, serta bapak dari Kiai R. Muhammad Adnan, Kiai Yasir Areng Rembang, serta R.A. Kartini Jepara.

      ·         Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari

Diantara sekian banyak santri, ada dua nama santri yang cukup pesohor, yakni Hasyim dan Darwis. Hasyim berasal dari Jombang dan Darwis berasal dari Yogyakarta. Mula-mula keduanya belajar di Pesantren Bangkalan asuhan Kiai Kholil, berbekal kecerdasan yang dimiliki oleh kedua santri ini, mereka mampu ‘melahap’ habis kitab-kitab yang diajarkan Kiai Kholil. Tak ayal, dalam waktu bersamaan, keduanya didelegasikan menuju Semarang untuk bertemu Kiai Sholeh Darat. Kala itu Darwis berusia 16 tahun, sedangkan Hasyim masih 14 tahun. Mereka berdua pun mondok selama dua tahun penuh kepada Kiai Sholeh Darat. Dua tahun terbilang waktu yang singkat, akan tetapi dua muridnya itu memang memiliki kepandaian di atas rata-rata.

Tak ayal, Kiai Sholeh Darat pun mengutus keduanya memperdalam dalam ilmu agama di tanah Haramain. Keduanya memenuhi perintah Kiai Sholeh Darat untuk bertemu karibnya bernama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam Masjidil Haram. Melihat kepandaian keduanya, Syekh Ahmad lantas menjadikan mereka sebagai murid kesayangan. Di Mekkah, Darwis lebih menyukai pelajaran sejarah dan pergerakan Islam, sedangkan Hasyim condong mendalami kajian hadist.

Darwis kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, sepulangnya dari Mekkah dia merintis berdirinya pergerakan umat, yang pada akhirnya dikenal Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta. Sedangkan Hasyim Asy’ari pulang ke Jombang, dibantu Kiai Romli mendirikan pesantren di daerah yang dulunya dijadikan sarang rampok dan maksiat,yakni Tebuireng. Pada tahun 1926, Kiai Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisyri Syansuri dan Kiai Faqih Maskumambang, bersama-sama mendirikan perkumpulan umat bernama Nahdlatul Ulama.

   
     ·         Kartini dan Tafsir Farid Ar-Rahman

Kiai Sholeh Darat termasuk Ulama yang tidak terikat dengan aliran-aliran dalam islam. Ia justru sangat menghargai aliran yang berkembang pada saat itu. Ia lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (substansi) islam dan bukan furu’iyah (cabang). Kiai Sholeh darat memosisikan diri sebagai pedakwah yang santun, ia berdakwah dengan bahasa yang sangat mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan awam dari semua golongan masyarakat. Tak heran apabila kemasan dakwahnya bisa diterima masyarakat secara luas, mulai dari kalangan rakyat kecil hingga keluarga priyayi atau bangsawan.

Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan Kiai adalah Raden Ajeng Kartini. Menurut catatan cucu Kiai Sholeh Darat, Kiai Al Kholil, Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya sering memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuahayat Al-Qur’an. Tak heran, Kartini pernah beranggapan bahwa pelajaran agama sebatas ritual belaka tanpa ada makna yang bisa dipahami.

Kebetulan pada masa itu Kiai Sholeh Darat memiliki agenda rutinmengisi ceramah keliling ke beberapa keluarga bangsawan di beberapa kabupaten pantai utara Jawa. Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu , sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain dari balik hijab (tabir/tirai). Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Kartini meras tercerahkan. Betapa Kiai Sholeh Darat mampu menerjemahkan sekaligus menafsirkan surat Al-Fatihah secara gamblang hingga mudah dipahami orang awam.

Tak pelak, selepas pengajian , kartinipun meminta tolong pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kiai Sholeh Darat. Kartini pun berkata, ”Saya merasa perlu menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Romo Kiai. Saya bersyukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian Romo Kiai menerjemahkan surah Al-Fatihah kedalam bahasa Jawa sehingga mudah dipahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti Saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka Al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan kedalam biasa lain atau bahasa Jawa.

Lebih lanjut Kartini menjelaskan, “Selama ini surah Al-Fatihah gelap bagi Saya. Saya tidak mengerti sedikitpun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang Saya pahami.” Dari situ R.A Kartini pun beberapa kali mengikuti pengajian tafsir Kiai Sholeh Darat. Dalam salah satu pengajian Kiai Sholeh Darat, secara tersiraat R.A. Kartini memohon gurunya itu agar menerjemahkan Al-Qur’an  ke dalam bahasa Jawa. Karena bagi Kartni tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Permintaan tersebut mendapat respun positif, sehingga Kiai Sholeh Darat pun tergerak menuliskan terjemahan Al-Qur’an. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa.

Tetapi pada waktu itu penjajahan Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Mereka tak segan membakar terjemahan Al-Qur’an, baik yang ditulis dalam akssara latin maupun aksara Jawa. Tak habis akal, Kiai Sholeh Darat memiliki solusi atas larangan penjajahan. Ia menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf arab gundul tetapi berbahasa Jawa (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir danterjemahan Al-Qur’an ini diberi nama Kitab Tafsir Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Setelah selesai dicetak, Kiai Sholeh memberikan hadiah kitab tafsir ini kepada R.A. Kartini dalam acara tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, seorang bupati Rembang.

Sejak saat itu, Kiai Sholeh Darat banyak menulis buku dengan menggunakan tulisan pegon. Ia hanya sesekali menulis dengan menggunakan bahasa Arab. Ikhtiarnya adalah agar karya-karyanya bisa dipahami dan dicerna dengan baik oleh masyarakat awam secara luas. Ia adalah pelopor ulama yang menulis buku agama dengan menggunakan bahasa Jawa. Tak heran apabila masyarakat awam kala itu sangat terbantu dengan kehadiran buku-buku karya Kiai Sholeh Darat. Sehingga buku-buku Kiai Sholeh pun menjadi pegangan utama sebagai bahan ajar di pesantren dan langgar di Jawa kala itu. Kiai Sholeh menjadi ulama visioner yang memiliki kontribusi luar biasa terhadap tersedianya referensi keislaman yang mudah dipahami dan dekat dengan masyarakat awam.


      ·         Jihad Ilmiah Melawan Penjajah

Tak bisa dipungkiri Kiai Sholeh Darat memiliki reputasi keilmuan yang sahih dan diakui baik di tanah Jawa, Haramain dan juga kawasan Asia. Beliau termasuk jajaran Kiai yang berfikif visioner dan out of the box, disaat kiai-kiai lain masih melarang penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa selain Arab. Beliau berani melawan arus tradisi dengan menullis Tafsir Faid Ar-Rahman dalam bahasa pegon.

Kiai Sholeh Darat juga menjalin korespondensi dengan para Ulama dari tanah seberang, Singapura, Malaysia dan Thailand. Sehingga kitab-kitab beliau juga diterbitkan dan diajarkann disana. Bahkan di Singapura konon ada satu kampung yang dinisbahkan dengan memakai nama Shaleh, merujuk pada Kiai Sholeh Darat Semarang. Di kawasaan tersebut beliau dikenal dengan nama Tuan Haji Muhammad Shalih Samarani.

Kiai Sholeh Darat merupakan ulama yang gentar menghaadapi tekanan penjajah. Kendati pernah belanda selalu mengawasi ketatt pergerakan dakwah Kiai Sholeh Darat, beliau selalu bisa mengemas pesan-pesan jihad dengan taktis hingga tertanam kuat di sanubari masyarakat. Dalam kitabnya Majmu’at As-Syari’at Al-Kafiah li Al-‘Awam, Kiai Sholeh secara lantang memfatwakan haramnya bekerjasama atau meniru perbuatan keji kaum penjajahan Belanda.

Dalam suatu riwayat, penjajah Belanda khawatir dengan dakwah Kiai Sholeh Darat. Mereka lantas menyogok beliau, maka diutuslah ajudan dengan membawa satu peti uang, dihadiahkan kepada Kiai Sholeh Darat. Harapannnya supaya Kiai Sholeh Darat bisa terkompromi dengan kaum penjajah. Mengetahui itu, Kiai Sholeh menolaknya mentah-mentah. Di hadapan utusan tu, beliau tiba-tiba mengubah bongkahan batu menjadi emas. Dengan maksud menunjukkan beliau tidak butuh harta dunia. Namun Kiai Sholeh Darat menyesal memperlihatkan karomahnya di hadapan banyak orang, hingga bercucuran air matanya seraya bertaubat.


     ·         Perhatian Terhadap Kaum Awam

Kiai Sholeh Darat dikenal sangat perhatian terhadap iman orang awam. Kepedulian Sholeh Darat dengan realitas umat Islam di Jawa bisa dibaca dalam berbagai karyanya. Semisal, Terjemah Sabil Al-‘Abid ‘Ala Jauharah At-Tauhid, yang merupakan terjemahan dengan menggunakan bahasa Jawa dari Kitab Jauharah At-Tauhid karya Ibrahim Al-Laqani yang membahas tauhid, agar bermanfaat bagi orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab. Dalam terjemahan itu masih menggunakan lafadnya nazam (syair) yang kemudian diterjemahkan sebagai syarah (penjelasan) dari materi yang diambil dari Hasyisah Al-Syaikh Al-‘Alamah Ibrahim Al-Bajuri agar bermanfaat juga bagi orang awam.

Ia juga menerjemahkan kitab Matn Al-Hikmah untuk memudahkan pemehaman orang awam yang belajar agama (mengaji). Dalam kitab Majmu’ah As-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-‘Awam, Kiai Sholeh Darat memperingatkan kepada orang yang masih awam, agar tidak jatuh pada paham atau keyakinan sesaat, seperti paham kebatinan yang menyatakan bahwa amal yang diterima oleh amal hati, seperti ajaran Wahdatul Wujud (Manunggaling Kawula Gusti), bersatu dengan tuhan.

Adapun yang dimaksud orang awam oleh Kiai Sholeh Darat, yaitu orang islam tanah Jawa yang tidak mengerti bahasa Arab, berfikir ringkas (sederhana), taqlid dalam keimanannya dan tidak menggunakan dalil (tidak argumentif). Kondisi semacam ini terutama diakibatkan belenggu kolonial Belanda, sehingga masyarakat jatuh pada situasi kebodohan dan kemiskinan.

Untuk itu Kiai Sholeh Darat berusaha memberantas kebodohan dengan pesan dan anjuran menuntut ilmu yang bermanfaat. Sedangkan untuk memberantas kemiskinan dengan mewajibkan bekerja (kasab) bagi orang awam, tidak tamak (mengharapkan harta orang lain) dan tidak menjadi pengemis, mencari harta (rizqi) yang halal, tidak boleh pasrah dan bergantung pada takdir. Maka setiap orang muslim harus introspeksi, apakah telah berbuat taat, sehingga harus bersyukur atau telah berbuat maksiat, sehingga harus bertaubat. Sebab perbuatan taat dan taubat harus dilaksanakan dengan kasab (usaha).
Dengan demikian, dalam teori ilmu kalam yang berkaitan dengan perbuatan manusia, Kiai Sholeh Darat menjelaskan bahwa paham Jabariah dan Qodariah tentang perbuatan manusia adalah kurang tepat. Sehingga paham Ahlusunah memilih berada di tengah-tengah antara Jabariah dan Qodariah. Sebagai Ulama yang berfikiran maju, Ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kasab (kerja keras), setelah itu baru menyerahkan diri secara pasrahkepada Yang Maha Menentukan. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karenaa memandang segala nasibnya telah ditakdirkan Allah SWT. Sebaliknya ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatannya.


      ·         Menulis hingga Akhir Hayat

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikir karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1875), yang banyak menulis kitab berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Sholeh Darat adalah satu-satunya Kiai, akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaannya berbahasa Jawa. Beliau menulis kitab dengan lafadz Pegon (huruf Arab berbahasa Jawa), yang semuanya menggunakan Bahasa Jawa pesisiran atau diistilahkan sebagai Al-Lughah Al-Jawiyyah Al-Merikiyyah (Bahasa Jawa Setempat). Dalam kitabnya, Majmu’ah Asy-Syari’ah Al-Khafiyatu lil ‘Awam, Kiai Sholeh Darat menulis, “...Kerono arh supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun awam kang ora ngerti boso Arab Arab muga-muga dadi manfaat bisa nglakoni kabeh kang sinebut ing njeroni iki tarjamah...” Pernyataan ini jelas menjadi asal-usul dari visi literasi Kiai Sholeh Darat.

Ikhtiar Kiai Sholeh Darat menulis sebagian besar kitab berbahasa pegon adalah demi mempermudah kalangan awam di Jawa memahami ajaran Islam. Misalnya di pendahuluan kitab Al-Hikam, Kiai Sholeh Darat menyatakan bahwa dia menulis karyanya ini sebagai versi pendek (rangkuman) dari versi berbahasa Arab Matn Al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn ‘Atha’illah Al-Iskandary. Ini dilakukan agar mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan awam. Tak hanya itu, dalam salah satu bab dalam Majmu’at, Sholeh Darat menyatakan bahwa “Kitab ini singkat dan sederhana. Ini hanya ditujukan bagi kalangan awam seperti saya. Oleh karena itu, Saya tidak membuat buku ini mencakup semua aspek fiqih. Kitab ini hanya membahas aspek-aspek yang paling umum dipraktikkan oleh kalangan muslim awam”.

Adapun karya-karya Kiai Sholeh Darat yang sebagiannya merupakan terjemah, berjumlah tidak kurang dari 14 buah, yaitu:

a.           Majmu’at As-Syariat Al-Kafiyat li Al-Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan-persoalan fikih yang ditulis menggunalkan bahasa Jawa bertulis pegon.
b.           Munjiyat Metik Saking Ihya ‘Ulum Al-Din Al-Ghozali. Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya jilid III dan IV.
c.            Matn Al-Hikam, merupakan kitab tasawuf terjemahan dan ringkasan dari kitab Al-Hikam karya Syekh Ahmad ibn ‘Atha’illah Al-Iskandary (W. 709 H/1309 M)dengan menggunakan bahasa Jawa. Kitab ini mulai ditulis tahun 1289 H/1868 M untuk kepentingan masyarakat islam awam yang tidak mengusai bahasa Arab.
d.           Lathaif Al-Thaharat, berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditis menggunakan bahasa Jawa.
e.           Manasik Al-Hajj, berisi tuntunan atau tata cara ibadah haji.
f.             Pasolatan, berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa berhuruf Arab pegon.
g.           Sabilul ‘Abid terjemah Jauhar Al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani, merupakan terjemahan bahasa Jawa.
h.           Minhaj Al-Atqiya, berisi tuntunan bagi orang-orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah.
i.             Al-Mursyid Al-Wajiz berisi tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu Tajwid. Penulisan kitab ini berakhir pada hari Selasa tanggal 26 Dzul Qa’dah 1317 H / 1900 M dan penyalinan ulang berakhir pada hari Selasa 28 Muharram 1318 H / 1900 H.
j.             Hadist Al-Mi’raj.
k.            Syarh Al-Maulid Al-Burdah, merupakan syarah kitab Maulid Al-Burdah karya Muhammad Sa’id Al-Busyiri, yang membicarakan keagungan Muhammad SAW, kemukjizatan Rasul dan keagungan Al Qur’an.
l.             Fa’id Ar-rahman, ditulis pada 5 Rajab 1309 H / 1891 M. Kitab ini diterbitkan di Singapura. Dalam kitab tafsir ini, diberi rujukan tafsir Al-Jalalain karangan Jalauddin Al-Mahalli dan Jamaluddin Al-Suyuti, Tafsir Al-Kabir karya Ar-Razi dan Lubab Al-Ta’wil karya Al-Khazin. Kitab ini baru disusun sampai juz keenam, surat An-Nisa’.
m.         Asrar Al-Sholal.
n.           Syarh Barzanji, berisi tentang isra’mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dan datangnya perintah shalat fardlu sebanyak 5 waktu dalam sehari semalam.

Seluruh kehidupan Kiai Sholeh Darat diabdikan untuk dakwah dan masyarakat. Kiai Sholeh Darat sadar masyarakat Jawa kala itu masih terbelakng dan butuh bimbingan secara kontinyu. Tak ayal, Kiai Sholeh Darat melakukan dakwah simultan ke berbagai Kabupaten di sepanjang pantai utara pulau Jawa. Di sela-sela waktunya, dipergunakan untuk menggali ajara Islam, lalu menuliskannya dalam bahasa yang paling mudah untuk dicerna oleh masyarakat Jawa. Karya tulisnya mencakaup berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam, tauhid, fiqih, tafsir Al-Qur’an, hadist dan tasawuf. Ia secara intensif mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk membukukan pendapat-pendapatnya tentang berbagai masalah yang dihadapinya dalam konteks kemasyarakatan yang melingkupinya. Perhatiannya tercurah terhadap pandangan hidup yang berdasarkan ajaran-ajaran agama islam dan kehipupan spiritual setiap muslim. Melalui karya tuliisnya dan peranan dakwahnya yang santun dan mencerahkan, berimplikasi positif kepada banyaknya santri yang berdatangan nyantri kepada Kiai Sholeh Darat. Lebih dari itu, dakwahnya  juga dapat menarik perhatian simpatik dari para masyarakat awam yang benar-benar menbutuhkan pelajaran agama.

Hingga akhirnya pada usia ke-83 Kiai Sholeh Darat menghembuskan nafas terakhirnya. Warisan besar yang ditinggalkannya berupa puluhan kitab yang dituliskannya. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H / 18 Desember 1903 M.


       ·         Napak Tilas Kiai Sholeh Darat

Hingga kini, Kiai Sholeh Darat memiliki sekitar tujuh  puluh trah (keturunan) yang tersebar di berbagai daerah. Menariknya, peringatan Haul Kiai Sholeh Darat diadakan rutin pada tanggal 10 Syawal. Hal ini semata-mata agar masyarakat secara luas bisa mengikuti rangkaian acaranya, setelah merayakan Lebaran dan Syawalan. Pada acara Haul ini biasanya menjadi ajang silaturahmi trah keturunan Kiai Sholeh Darat. Mereka berkumpul dan bersilaturahmi di Masjid Kiai Sholeh Darat Jl. Kakap/Darat Tirto, Kelurahan Dadapsari yang terletak di Semarang Utara.

Dari pertemuan silaturahmi ini, keempat belas kitab kaarya Kiai Sholeh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India), Mesir dan Singapura. Hingga kini, keturunan Kiai Sholeh Dart terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan Kiai Sholeh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.


Di samping acara Haul yang diselenggarakan masyarakat dan keturunan Kiai Sholeh Darat, Dinas Pariwisata Kota Semarang Juga menyelenggarakan perhelatan budaya yang bertajuk “Peringatan Labuhan Kiai Sholeh Darat Semarang” yang diselenggarakkan tiap bulan Desember. Rangkain acara tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni Pasar Labuhan Semarang dan prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat. Pasar Labuhan Semarang merupakan even bazar yang meyediakan aneka barang kebutuhan sehari-hari, dilaksanakan di sepanjang Jalan Kakap menuju Masjid Sholeh Darat. Sedangkan prosesi penyambutan Kiai Sholeh Darat diselenggarakan di depan Pasar Boom Lama. Acara ini menyimbolkan penyambutan Kiai Sholeh Darat dari menuntut ilmu di Haramain. Kedatangannya disambut oleh ulama, santri dan masyarakat setempat. Kemudian diarak dari Pelabuhan menuju Masjid Sholeh Darat. Sesampainya di masjid kemudian ditandai dengan pemukulan kentongan di Masjid Sholeh Darat. Kentongan tersebut juga menandai dimulainya pembukaan acara, dimulai dari pembacaan doa Asmaul Husna dan halaqah pengajian kitab-kitab Kiai Sholeh Darat.


Daftar Pustaka
  o   Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara-Riwayat, Pejuangan dan Doa, 2007, Kutub: Yogyakarta
  o   Abu Malikus Shalih Dzahir, M. Ichwan (editor), Sejarah & Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang, 2012, Panitia Haul Kiai Sholeh Darat: Semarang
  o  Achmad Rasyid R., mengenal Kiai Saleh Darat: Kiprah dan pemikirannya, 2010, Majalah Nur Hidayat: Solo
  o   Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII, 2013, Kencana: Jakarta
  o   Ghazali Munir, Warisan intelektual Islam jawa dalam pemikiran Kalam Muhammad Shalih Darat As-Samarani,2008, Walisongo Press: Semarang
  o   Jajat Burhanudin, Ulam & Kekuasaan, 2012, Mizan: Bandung
  o   Matuki HS dan M. Isham El-Shaha (editor), Intelektualisme Pesantren, 2003, Diva Pustaka: Jakarta
  o   Martin Van Bruinessen, Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat, 2012, Gading Publishing: Yogyakarta
  o   M. Masrur, Kiai Sholeh Darat, Tafsir Faid Ar-Rahman dan R.A. Kartini, Jurnal At-Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli 2012: Semarang
  o   Munawwir Aziz, Produksi Wacana Syiar Islam dalam kitab pegon Kiai Saleh Darat Semarang dan Kiai Bisri Musthofa Rembang,Jurnal Afkaruna, Vol. 9 No. 2, Juli-Desember 2013
  o   Salim A. Fillah, Kisah Kedekatan KH Hasyim As’ari dan KH Ahmad Dahlan, Harian Republika edisi 4 Agustus 2015
  o   Zamakhsyari Dhoifier, Tradisi Pesantren, 1994, LP3ES: Jakarta
  o   Ulum Miftahul, Agustin Mufarohah, KH. Sholeh Darat: Syarah Al Hikam, 2016, Sahifa Penerbit: Depok

2 comments:

  1. mohon dikoreksi itu foto yg kiri bukan kh sholeh darat melainkan kh achyat chalimy mojokerto

    ReplyDelete
  2. Nggih.. Suwun koreksine.. Akan segera saya ganti. Berarti yang salah yg foto berwarna ya?

    ReplyDelete

Designed By: Ali Maskur Nt